BeltimKaya.Com | JSCgroupmedia ~ Nama orang Indonesia memiliki karakteristik yang bervariasi karena pengaruh suku dan budaya. Salah satunya penggunaan marga di belakang nama.
Marga menunjukkan ciri sebagai pengenal seseorang yang menunjukkan asal-usul keluarga dan biasanya diletakkan di belakang nama diri.
Marga di Indonesia meskipun berfungsi sebagai ciri pengenal kolektif, namun memiliki perbedaan secara etnik, seperti halnya masyarakat suku Batak (Sumatera Utara), Minangkabau (Sumatera Barat, dan Minahasa (Sulawesi Utara).
Pada etnis tertentu di Indonesia, misalnya orang Jawa dan Sunda tidak lazim menggunakan nama marga. Tetapi pada golongan tertentu menggunakan gelar adat atau gelar kebangsawanan.
Marga sering juga dihubungkan dengan klan atau sering disebut kerabat luas atau keluarga besar. Klan ini diturunkan baik melalui garis ayah (patrilineal) maupun ibu (matrilineal).
Batak menurunkan marga dari sang ayah. Sedangkan suku Minangkabau menurunkan marga dari ibu (matrilineal).

Pemberian nama marga dalam etnik Minangkabau secara umum dapat diberikan kepada seseorang yang berasal dari suku-suku di Minangkabau dan tersebar di berbagai wilayah, termasuk darek dan luhak-luhak yang sudah ada sejak Kerajaan Pagaruyung Darul Qoror masih memerintah di tanah Melayu.
Etnis Minangkabau menggunakan nama marga yang diambil dari nama tempat dan suku. Marga yang ada di Sumatera Barat antara lain Chaniago, Koto, Malayu, Piliang, Sikumbang, dan Tanjuang. Dirangkum dari berbagai sumber, Rabu (5/6/2024), berikut penjelasan marga-marga Minangkabau tersebut:
1. Chaniago
Chaniago merupakan salah satu suku asli dan suku induk di Minangkabau yang dibawa oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang.
Suku Chaniago memiliki falsafah hidup demokratis, yaitu dengan menjunjung tinggi falsafah “bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat.
Nan bulek samo digolongkan, nan picak samo dilayangkan” artinya: “Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat”.
Bagi masyarakat suku Chaniago semua keputusan yang akan diambil untuk suatu kepentingan harus melalui suatu proses musyawarah untuk mufakat.
Falsafah tersebut tercermin pada bentuk arsitektur rumah adat bodi Chaniago yang ditandai dengan tidak terdapatnya anjuang pada kedua sisi bangunan Rumah Gadang.
Hal tersebut menandakan bahwa tingkat kasta seseorang tidak membuat perbedaan perlakuan antara yang tinggi dengan yang rendah.
Hal yang membedakan tinggi rendahnya seseorang pada masyarakat suku Chaniago hanyalah dinilai dari besar tanggung jawab yang dipikul oleh orang tersebut.
2. Koto
Pada awalnya masyarakat Minangkabau dikenal hanya memiliki dua kelarasan atau suku, yakni Koto Piliang dan Bodi Chaniago.
Budayawan AA Navis dalam bukunya berjudul Alam Terkembang Jadi Guru menyatakan bahwa nama suku Koto berasal dari kata ‘koto’ yang berasal dari bahasa Sanskerta ‘kotta’ yang artinya benteng.
Dahulu benteng ini terbuat dari bambu. Di dalam benteng ini terdapat pemukiman beberapa warga yang kemudian menjadi sebuah ‘koto’ yang juga berarti kota.
Dulunya Suku Koto merupakan satu kesatuan dengan Suku Piliang tetapi, karena perkembangan populasinya maka paduan suku ini dimekarkan menjadi dua suku yaitu suku Koto dan suku Piliang.
3. Malayu
Suku Malayu merupakan salah satu klan (marga) dalam tatanan sosial etnis Minangkabau. Klan ini umumnya menganut adat Lareh Koto Piliang, tetapi ada juga yang memadukan kedua sistem adat di Minangkabau, yaitu Lareh Koto Piliang sekaligus Lareh Bodi Chaniago, bergantung kepada di nagari mana mereka tinggal.
Nama “Malayu” berasal dari bahasa Sanskerta “malaya” yang berarti bukit atau gunung, identik dengan kata “giri” yang berarti bukit dan kata “syaila” yang berarti gunung.
4. Piliang
Piliang adalah merupakan salah satu dari empat klan induk etnis Minangkabau (Bodi, Caniago, Koto, dan Piliang). Klan Piliang berkerabat dengan suku Koto membentuk Adat Katumanggungan yang juga terkenal dengan Lareh Koto Piliang.
Menurut Budayawan AA Navis, kata Piliang terbentuk dari dua kata yang berasal dari bahasa Sanskerta yaitu ‘Pele’ artinya banyak dan ‘Hyang’ artinya Dewa atau Tuhan. Jadi Pele + hyang artinya adalah banyak dewa (para dewa).
Ada juga versi yang mengatakan suku Piliang yang merupakan saudara dari suku Koto, yang cenderung disebut dengan Koto Piliang, berasal dari Kato Pilihan.
Koto berasal dari kato (Ucapan) dan Piliang berasal dari Pilihan (Unggulan). Jadi Koto Piliang adalah berasal dari Kato Pilihan.
5. Sikumbang
Sikumbang adalah salah satu klan (marga) etnis Minangkabau yang banyak berkembang. Warga suku ini sudah menyebar di berbagai wilayah.
Nama Sikumbang berasal dari kata Si + Kumbang. Si Kumbang sendiri bermaksud Harimau Kumbang (Harimau berwarna hitam).
Kemungkinan dulunya orang-orang suku Sikumbang ini keturunan orang yang kulitnya hitam dan memiliki keahlian bela diri berupa silat harimau yang terkenal.
Selain itu, ada beberapa kata yang terkait dengan asal usul nama suku Sikumbang yaitu kata kumbang. Kumbang bisa berarti sejenis serangga, atau sebuah nama untuk macan tutul (harimau). Sikumbang sangat terkenal di zaman dulu di ranah Minangkabau.
Suku ini berperan sebagai hulubalang 9kepala) nigari.
6. Tanjuang
Tanjung atau Tanjuang dalam Bahasa Minang, merupakan salah satu suku(klan) Minangkabau yang sudah tersebar di berbagai wilayah. Suku Tanjuang adalah klan dalam rumpun Lareh Koto Piliang yang diazazkan oleh Datuk Ketumanggungan pada era Pariangan.
Berdasarkan sumber dari masyarakat yang memiliki relasi dengan suku ini, penamaan Tanjuang berasal dari kata “Sutan Baanjuang” (dibaca: Su-tan Ba-an-juang).
Selain itu, Tanjung juga berarti pohon Tanjung, yang mana merupakan pohon suci di zaman Hindu-Budha.
Menurut tambo adat Minangkabau, Suku Tanjuang berasal dari Luhak Nan Tigo (Minangkabau daratan) dan merupakan salah satu suku yang terbesar di Minangkabau. | BeltimKaya.Com | EraKini | *** |
oke