BeltimKaya.Com | JSCgroupmedia ~ Pelantikan kepala daerah hasil Pilkada 2024 yang semula dijadwalkan pada Februari 2025, resmi diundur hingga Maret 2025.
Keputusan ini diambil untuk memastikan pelantikan dilakukan secara serentak, setelah seluruh sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, menyatakan bahwa langkah ini bertujuan menjaga konsistensi proses demokrasi dan menghindari pelantikan bertahap seperti sebelumnya.
“MK ingin memastikan bahwa semua tahapan selesai sebelum pelantikan, sehingga tidak ada lagi pelantikan yang dilakukan satu per satu,” ujar Dede di Jakarta, Kamis (2/1/2025).
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2024 tentang Tata Cara Pelantikan Kepala Daerah, pelantikan gubernur dan wakil gubernur dijadwalkan pada 7 Februari 2025, sementara pelantikan bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota pada 10 Februari 2025.
Namun, dengan penundaan ini, pelantikan kemungkinan besar akan digelar pada pertengahan Maret 2025, menunggu penyelesaian PHPU di MK dan kesiapan Presiden.

Pro Kontra di Balik Penundaan dan Wacana Pemilihan Tidak Langsung
Meski penundaan ini dianggap sebagai upaya memastikan pelantikan berjalan tertib, beberapa pihak menilai hal ini berpotensi memicu spekulasi publik terkait konsistensi demokrasi di Indonesia.
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mewanti-wanti bahwa isu pemilihan kepala daerah melalui DPRD—yang sempat muncul dalam wacana politik—dapat merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, menegaskan bahwa wacana ini tidak populer dan bertentangan dengan keinginan mayoritas masyarakat.
“Publik sangat menolak ide kepala daerah dipilih DPRD. Ini konsisten dengan penolakan mereka terhadap gagasan mengubah pemilihan presiden menjadi melalui MPR,” jelas Saidiman pada Jumat (27/12/2024).
Menurut Saidiman, masyarakat Indonesia memiliki kesadaran tinggi tentang hak memilih pemimpin secara langsung, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Ketidakpercayaan terhadap DPR dan DPRD turut memperkuat sikap publik yang menolak gagasan ini.
Ancaman terhadap Kepercayaan Publik pada Pemerintahan
Lebih lanjut, Saidiman mengingatkan bahwa kepercayaan publik terhadap Presiden Prabowo Subianto masih bergantung pada janji-janji kampanye.
Namun, sejumlah isu, seperti wacana penghapusan pemilihan langsung kepala daerah, pengampunan koruptor, dan rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen, dapat memicu ketidakpuasan masyarakat.
“Bila janji kampanye tidak terbukti atau terlihat diingkari, ketidakpercayaan publik akan meningkat.
Isu-isu seperti pengurangan anggaran makan bergizi gratis dari Rp15 ribu menjadi Rp10 ribu per anak juga bisa memperburuk situasi,” tambahnya. | BeltimKaya.Com | GudangBerita | *** |
hehehe